VITA hampir
setiap hari berjalan ke sekolahnya. Datang enggak dijemput, pulang enggak
diantar. Kayak jalangkung kali. Ya. Jarak dari rumah ke sekolah memang cukup
dekat. Kendaraan yang paling asyik untuk sampai di sekolah pikirnya adalah
sepeda. Tapi, sepeda yang ada di rumah sudah enggak muat (mana muat, dong! Sepeda
balita, sih). Jadi, salah satu alternative lainnya adalah dengan berjalan kaki.
Selain baik untuk kesehatan, ternyata jalan kaki dari rumahnya cukup pegal
juga. Hehehe.... Dan naik angkot jauh-dekat tetap saja bayar, Neng.
Hah....
pulang enggak ada yang jemput, berangkat enggak pernah dianterin. Coba aja kalo
tiap hari ada seseorang yang aku kenal ketika pulang sekolah. Dan kebetulan dia
satu arah pulangnya. Enggak perlu repot-repot pijitin kaki di rumah, rutuknya kesal.
Treeeng... terengteng...
teng... teng....
Tampak genangan air di jalan. Terdengar deru mesin ribut dari belakang.
Srooottt....
Aaah...!
Aduh kurang ajar banget tuh mo..., “Eh, lucuuu.... Hei!”
Musim hujan memang belumlah lewat.
Selalu saja jalanan penuh dengan genangan air di mana-mana. Padahal, Vita dari
tadi berhati-hati untuk tidak menginjak genangan air yang menghadang
perjalanannya. Namun kini, dengan perasaan dongkol plus sedikit emosi kepada
pengendara yang enggak punya perasaan itu, Vita harus menerima genangan air itu
melompat ke baju, celana, dan sepatunya. Basah.
Padahal, hari ini hari Senin.
Seragam yang baru dipakainya sudah harus masuk keranjang cuci lagi. Vita yang
manis itu jadi bau amis sekarang.
“Hmmm... dasar orang sekarang kalo
pake motor enggak pake aturan. Ugal-ugalan lah. Enggak liat apa kalo ada
genangan air di situ tadi,” gerutunya saat tiba di rumah.
“Kenapa? Pulang bukannya bilang
salam, malah...,” sambut mamanya heran melihat lagak anak perempuannya.
“Itu, Ma. Enggak, deh, enggak
penting.... Hari ini apes banget, Ma,” balas dewi sambil melangkah masuk ke
ruang tengah. Melewati mamanya. Lalu, pergi ke kamarnya di atas.
“Hus... enggak baik bicara begitu.
Tuh, bajumu kenapa sampe kotor dan basah? Enggak mungkin kalo kehujanan,”
lanjut mamanya.
Foto-foto, gambar-gambar, dan
berbagai macam hiasan yang terpajang di kamar Vita terlihat unik-unik. Sebagian
ada juga yang tampak antik. Barang yang terbuat dari kaca, yang terbuat dari
kayu, dan terbuat tanah liat hinggap dan menclok di setiap sudut kamar.
Karyanya dan karya orang lain tampak serasi menyatu dalam ruangan itu.
Ada beberapa kenangan yang tampak
dalam foto-foto itu di kamarnya. Ada foto dirinya saat berusia 10 tahun sedang
duduk bersama laki-laki dewasa yang terlihat gagah. Vita tampak sedang tertawa
dan sepertinya enggak mau duduk. Sembari berdiri di atas jok belakang sebuah
motor, dia tampak usil menutupi mata laki-laki dewasa itu dengan kedua telapak
tangannya yang mungil. Pada bingkai foto yang lain, di sebelahnya, Vita duduk
di jok depan motor yang sama sambil memegangi setang kemudinya. Tersenyum manis
sekali. Dia masih ingat siapa yang memegang kamera waktu itu. Ayahnya.
Vita masih menatap foto itu beberapa
saat, sebelum mamanya tiba-tiba berada di sampingnya. Bingkai foto kenangan
bersama ayahnya itu pun diletakkannya di atas meja belajar.
“Makan dulu, yuk,” ajaknya.
“Eh, Ma. Motor Ayah ke mana, ya? Oh
iya di Om Beni, kan?”
***
Jo mematut
dirinya di depan cermin. Membetulkan sedikit lipatan kerahnya. Menyisir rapi
rambutnya. Lalu, mulai mengambil langkah keluar dari kamarnya. Eh... dia mundur lagi. Manyun-manyun sedikit
di depan cermin, lalu tiba-tiba tersenyum lebar-lebar. Padahal, jam di dinding
sudah pengin menjitak kepalanya. Jam menunjukkan pukul 06.40.
“Cepetan, Jo! Sarapan dulu,” seru
mamanya dari ruang makan. Lalu, mengambil piring kotor dan merapikan meja makan
bekas sarapan Ayahnya, yang sudah berangkat ke kantor.
Jo keluar kamar. Berlari menuju
pintu belakang, lalu sampai di garasi rumahnya. Sebuah motor Vespa seolah sudah
menungguinya di situ. Kemudian, dia menginjak pedal starter motor vespa itu.
Dua sampai tiga kali pedal starter itu diinjaknya dengan susah payah, masih
juga deru mesinnya belum terdengar.
“Aduh... Vebi, ayo dong! Udah telat,
nih,” gerutu Jo pada Vespa birunya. Dia menarik napas sejenak, lalu menginjak
pedal starter itu sekali lagi.
Teng... terengteng...
teng... teng... teng....
Akhirnya, motor Vespa yang dipanggilnya Vebi itu menderu dan suaranya
membuat burung peliharaan tetangganya kaget. Sembari menunggu mesin motornya
panas, dia mengambil helm-nya yang tertinggal di dalam. Lalu, menunggangi kuda
besinya itu menuju sekolah. Karena Vespa itu berwarna biru, Jo menyebutnya
dengan sebutan ‘Vebi’, alias ‘Vespa biruku’.
“JO... SARAPAN DULU!”
“MAAF, MA. KESIANGAN, NIH!” serunya sembari menarik tuas gas. Vespa
birunya pun melaju. Melesat secepat ulat. Hehehe... maklum motor tua.
Sementara itu, Vita sudah menempuh setengah perjalanan menuju sekolah
tercintanya dengan berjalan kaki. Napasnya keluar-masuk dengan cepat. Rupanya,
dia juga takut datang terlambat. Tampaklah Vita yang berjalan kaki seperti atlet
jalan cepat. Satu-dua, satu-dua....
Beberapa langkah lagi dia menuju finish. Gerbang sekolah itu sudah
tampak di depan matanya. Tiba-tiba, Jo melewatinya.
Huh... itu dia motor tua
yang kemaren lewat sambil nyiram segala. Enggak salah lagi vespa itu, batinya. Vespa biru itu berhenti enggak jauh dari
pandangannya. Suara ribut deru mesinnya berhenti begitu saja. Langkah Vita pun
mulai mendekatinya.
Dia mengamat-amati motor itu. Sebenarnya, dia sedikit tertarik pada
vespa itu saat pertama kali melihatnya. Lucu dan antik. Sama seperti yang
dimiliki ayahnya dulu. Saat itu pula, Jo dilihatnya sedang jongkok di depan kap
mesin motornya. Mencoba mengutak-atik sedikit mesinnya yang tiba-tiba mogok.
Hahaha... motornya mogok,
nih. Emang enak, umpat
Vita.
“Eh, motor yang gini beli berapa, sih?” tanya pita sedikit usil.
“Sori enggak dijual, Neng,” jawab Jo tanpa melirik dan sibuk
mengutak-atik.
“Idih, jutek banget. Siapa lagi yang mau bel...,” balas Vita.
“Udah, deh, motor ini emang enggak bakalan kujual,” potongnya.
Jo berdiri untuk menginjak pedal starter vespanya. Lagi dan lagi. Mencoba
menghidupkan mesinnya. Sekali lagi dan lagi. Tetap saja enggak ada tanda-tanda
kehidupan. Injak lagi.... Cape, deh.
Sial, rutuknya.
“Pantesan aja enggak dijual. Pajangan doang, tuh?” kata Vita.
“Eh tolongin, dong. Batuin dorong sampe depan gerbang sekolah deh, ya,”
pinta Jo tiba-tiba.
Ih, kurang ajar banget orang
ini nyuruh-nyuruh... kenal aja enggak. Tapi....
|
sumber: http://redhillgallery.com.au/DanMason.html |
***
Tet... tet... tet....
Memang, waktu terkadang terasa
begitu cepat berlalu. Secepat siswa-siswi kelas 10 sampai kelas 11 keluar dari
kelasnya masing-masing untuk menikmati istirahatnya di rumah. Hah....
Saat itu, Vita berdiri di depan
gerbang sekolah. Seseorang yang ditungguinya belum juga muncul. Jo alias
Jonathan Saputra yang baru saja dikenalnya tadi pagi belum menampakkan batang
hidungnya. Padahal, Jo hari ini akan mengantarkannya pulang sebagai rasa terima
kasih berkat pertolongannya tadi pagi. Bukan hanya itu saja, Jonathan Saputra
pengin menebus kesalahan atas ‘tragedi genangan air muncrat’ yang menimpa cewek
yang sedang berdiri menunggu itu. Dan di sinilah hari kebutulan dan
keberuntungan Vita Permana.
Dengan Vespa birunya, Jo menghampiri
Vita.
“Ayo, naik.”
Vita pun duduk manis di jok
belakang. Tersenyum-senyum sendiri. Vespa biru itu melaju bagai perahu.
Mengantarkan Vita ke tempat yang dituju. Dia jadi terharu mengingat-ingat dulu....
Kenangan itu... tapi tunggu!
“Kok, agak ada yang bau-bau gini, sih,” katanya dari belakang.
“Hehehe... kayaknya aku, deh. Aku enggak mandi tadi pagi. Maklum takut
kesiangan, hehehe...,” akui Jo dari depan kemudi yang katanya enggak mandi
pagi. Idiiih.... Vita jadi menutup hidungnya sejenak.
Sesampainya di rumah, Vita yang menjadi sangat berterima kasih kepada Jo
karena telah mengatarkannya pulang. Tapi, ada yang lebih dari itu. Kemudian,
dia berusaha menceritakan semua tentang perasaannya ini kepada Jonathan. Bagi
Vita, naik Vespa birunya lah yang paling berkesan. Saat diboncenginya, dia
seolah kembali ke masa lalu bersama ayahnya, sebelum beliau meninggal.
Hari ke hari, mamanya tahu soal Jonathan dan Vespa biru itu. Setelah
Ayahnya meninggal, Om Beni telah menyimpan dan memelihara motor kesayangan
ayahnya itu. Beliau adalah karib ayahnya sejak kecil. Dan nama Jonathan
sepertinya tidak asing lagi di telinga mamanya. Dia putra Om Beni. Mamanya
mengingat itu dan bercerita kepada Vita.
Kini, Vita menikmati perjalanan
barunya. Diantar-jemput dengan naik vespa biru, walau terkadang sang
pengemudinya sedikit bau.
“Lain kali mandi, dong, Jo.”
“Oke, deh, la Vita la Vespa!” seru
Jo dari depan dengan bergaya logat italia.
Pagi itu seolah tampak cerah melihat keceriaan mereka berdua menikmati
perjalanannya menggunakan Vespa.
***