Catatan Kaki

Selasa, 28 Februari 2012

La Vita la Vespa


VITA hampir setiap hari berjalan ke sekolahnya. Datang enggak dijemput, pulang enggak diantar. Kayak jalangkung kali. Ya. Jarak dari rumah ke sekolah memang cukup dekat. Kendaraan yang paling asyik untuk sampai di sekolah pikirnya adalah sepeda. Tapi, sepeda yang ada di rumah sudah enggak muat (mana muat, dong! Sepeda balita, sih). Jadi, salah satu alternative lainnya adalah dengan berjalan kaki. Selain baik untuk kesehatan, ternyata jalan kaki dari rumahnya cukup pegal juga. Hehehe.... Dan naik angkot jauh-dekat tetap saja bayar, Neng.
            Hah.... pulang enggak ada yang jemput, berangkat enggak pernah dianterin. Coba aja kalo tiap hari ada seseorang yang aku kenal ketika pulang sekolah. Dan kebetulan dia satu arah pulangnya. Enggak perlu repot-repot pijitin kaki di rumah, rutuknya kesal.
Treeeng... terengteng... teng... teng....
Tampak genangan air di jalan. Terdengar deru mesin ribut dari belakang.
Srooottt....
            Aaah...! Aduh kurang ajar banget tuh mo..., “Eh, lucuuu.... Hei!”
            Musim hujan memang belumlah lewat. Selalu saja jalanan penuh dengan genangan air di mana-mana. Padahal, Vita dari tadi berhati-hati untuk tidak menginjak genangan air yang menghadang perjalanannya. Namun kini, dengan perasaan dongkol plus sedikit emosi kepada pengendara yang enggak punya perasaan itu, Vita harus menerima genangan air itu melompat ke baju, celana, dan sepatunya. Basah.
            Padahal, hari ini hari Senin. Seragam yang baru dipakainya sudah harus masuk keranjang cuci lagi. Vita yang manis itu jadi bau amis sekarang.
            “Hmmm... dasar orang sekarang kalo pake motor enggak pake aturan. Ugal-ugalan lah. Enggak liat apa kalo ada genangan air di situ tadi,” gerutunya saat tiba di rumah.
            “Kenapa? Pulang bukannya bilang salam, malah...,” sambut mamanya heran melihat lagak anak perempuannya.
            “Itu, Ma. Enggak, deh, enggak penting.... Hari ini apes banget, Ma,” balas dewi sambil melangkah masuk ke ruang tengah. Melewati mamanya. Lalu, pergi ke kamarnya di atas.
            “Hus... enggak baik bicara begitu. Tuh, bajumu kenapa sampe kotor dan basah? Enggak mungkin kalo kehujanan,” lanjut mamanya.
            Foto-foto, gambar-gambar, dan berbagai macam hiasan yang terpajang di kamar Vita terlihat unik-unik. Sebagian ada juga yang tampak antik. Barang yang terbuat dari kaca, yang terbuat dari kayu, dan terbuat tanah liat hinggap dan menclok di setiap sudut kamar. Karyanya dan karya orang lain tampak serasi menyatu dalam ruangan itu.
            Ada beberapa kenangan yang tampak dalam foto-foto itu di kamarnya. Ada foto dirinya saat berusia 10 tahun sedang duduk bersama laki-laki dewasa yang terlihat gagah. Vita tampak sedang tertawa dan sepertinya enggak mau duduk. Sembari berdiri di atas jok belakang sebuah motor, dia tampak usil menutupi mata laki-laki dewasa itu dengan kedua telapak tangannya yang mungil. Pada bingkai foto yang lain, di sebelahnya, Vita duduk di jok depan motor yang sama sambil memegangi setang kemudinya. Tersenyum manis sekali. Dia masih ingat siapa yang memegang kamera waktu itu. Ayahnya.
            Vita masih menatap foto itu beberapa saat, sebelum mamanya tiba-tiba berada di sampingnya. Bingkai foto kenangan bersama ayahnya itu pun diletakkannya di atas meja belajar.
            “Makan dulu, yuk,” ajaknya.
            “Eh, Ma. Motor Ayah ke mana, ya? Oh iya di Om Beni, kan?”

***
Jo mematut dirinya di depan cermin. Membetulkan sedikit lipatan kerahnya. Menyisir rapi rambutnya. Lalu, mulai mengambil langkah keluar dari kamarnya.  Eh... dia mundur lagi. Manyun-manyun sedikit di depan cermin, lalu tiba-tiba tersenyum lebar-lebar. Padahal, jam di dinding sudah pengin menjitak kepalanya. Jam menunjukkan pukul 06.40.
            “Cepetan, Jo! Sarapan dulu,” seru mamanya dari ruang makan. Lalu, mengambil piring kotor dan merapikan meja makan bekas sarapan Ayahnya, yang sudah berangkat ke kantor.
            Jo keluar kamar. Berlari menuju pintu belakang, lalu sampai di garasi rumahnya. Sebuah motor Vespa seolah sudah menungguinya di situ. Kemudian, dia menginjak pedal starter motor vespa itu. Dua sampai tiga kali pedal starter itu diinjaknya dengan susah payah, masih juga deru mesinnya belum terdengar.
            “Aduh... Vebi, ayo dong! Udah telat, nih,” gerutu Jo pada Vespa birunya. Dia menarik napas sejenak, lalu menginjak pedal starter itu sekali lagi.
Teng... terengteng... teng... teng... teng....
Akhirnya, motor Vespa yang dipanggilnya Vebi itu menderu dan suaranya membuat burung peliharaan tetangganya kaget. Sembari menunggu mesin motornya panas, dia mengambil helm-nya yang tertinggal di dalam. Lalu, menunggangi kuda besinya itu menuju sekolah. Karena Vespa itu berwarna biru, Jo menyebutnya dengan sebutan ‘Vebi’, alias ‘Vespa biruku’.
“JO... SARAPAN DULU!”
“MAAF, MA. KESIANGAN, NIH!” serunya sembari menarik tuas gas. Vespa birunya pun melaju. Melesat secepat ulat. Hehehe... maklum motor tua.
Sementara itu, Vita sudah menempuh setengah perjalanan menuju sekolah tercintanya dengan berjalan kaki. Napasnya keluar-masuk dengan cepat. Rupanya, dia juga takut datang terlambat. Tampaklah Vita yang berjalan kaki seperti atlet jalan cepat. Satu-dua, satu-dua....
Beberapa langkah lagi dia menuju finish. Gerbang sekolah itu sudah tampak di depan matanya. Tiba-tiba, Jo melewatinya.
Huh... itu dia motor tua yang kemaren lewat sambil nyiram segala. Enggak salah lagi vespa itu, batinya. Vespa biru itu berhenti enggak jauh dari pandangannya. Suara ribut deru mesinnya berhenti begitu saja. Langkah Vita pun mulai mendekatinya.
Dia mengamat-amati motor itu. Sebenarnya, dia sedikit tertarik pada vespa itu saat pertama kali melihatnya. Lucu dan antik. Sama seperti yang dimiliki ayahnya dulu. Saat itu pula, Jo dilihatnya sedang jongkok di depan kap mesin motornya. Mencoba mengutak-atik sedikit mesinnya yang tiba-tiba mogok.
Hahaha... motornya mogok, nih. Emang enak, umpat Vita.
“Eh, motor yang gini beli berapa, sih?” tanya pita sedikit usil.
“Sori enggak dijual, Neng,” jawab Jo tanpa melirik dan sibuk mengutak-atik.
“Idih, jutek banget. Siapa lagi yang mau bel...,” balas Vita.
“Udah, deh, motor ini emang enggak bakalan kujual,” potongnya.
Jo berdiri untuk menginjak pedal starter vespanya. Lagi dan lagi. Mencoba menghidupkan mesinnya. Sekali lagi dan lagi. Tetap saja enggak ada tanda-tanda kehidupan. Injak lagi.... Cape, deh.
Sial, rutuknya.
“Pantesan aja enggak dijual. Pajangan doang, tuh?” kata Vita.
“Eh tolongin, dong. Batuin dorong sampe depan gerbang sekolah deh, ya,” pinta Jo tiba-tiba.
Ih, kurang ajar banget orang ini nyuruh-nyuruh... kenal aja enggak. Tapi....

sumber: http://redhillgallery.com.au/DanMason.html
***
Tet... tet... tet....
            Memang, waktu terkadang terasa begitu cepat berlalu. Secepat siswa-siswi kelas 10 sampai kelas 11 keluar dari kelasnya masing-masing untuk menikmati istirahatnya di rumah. Hah....
            Saat itu, Vita berdiri di depan gerbang sekolah. Seseorang yang ditungguinya belum juga muncul. Jo alias Jonathan Saputra yang baru saja dikenalnya tadi pagi belum menampakkan batang hidungnya. Padahal, Jo hari ini akan mengantarkannya pulang sebagai rasa terima kasih berkat pertolongannya tadi pagi. Bukan hanya itu saja, Jonathan Saputra pengin menebus kesalahan atas ‘tragedi genangan air muncrat’ yang menimpa cewek yang sedang berdiri menunggu itu. Dan di sinilah hari kebutulan dan keberuntungan Vita Permana.
            Dengan Vespa birunya, Jo menghampiri Vita.
            “Ayo, naik.”
            Vita pun duduk manis di jok belakang. Tersenyum-senyum sendiri. Vespa biru itu melaju bagai perahu. Mengantarkan Vita ke tempat yang dituju. Dia jadi terharu mengingat-ingat dulu.... Kenangan itu... tapi tunggu!
“Kok, agak ada yang bau-bau gini, sih,” katanya dari belakang.
“Hehehe... kayaknya aku, deh. Aku enggak mandi tadi pagi. Maklum takut kesiangan, hehehe...,” akui Jo dari depan kemudi yang katanya enggak mandi pagi. Idiiih.... Vita jadi menutup hidungnya sejenak.
Sesampainya di rumah, Vita yang menjadi sangat berterima kasih kepada Jo karena telah mengatarkannya pulang. Tapi, ada yang lebih dari itu. Kemudian, dia berusaha menceritakan semua tentang perasaannya ini kepada Jonathan. Bagi Vita, naik Vespa birunya lah yang paling berkesan. Saat diboncenginya, dia seolah kembali ke masa lalu bersama ayahnya, sebelum beliau meninggal.
Hari ke hari, mamanya tahu soal Jonathan dan Vespa biru itu. Setelah Ayahnya meninggal, Om Beni telah menyimpan dan memelihara motor kesayangan ayahnya itu. Beliau adalah karib ayahnya sejak kecil. Dan nama Jonathan sepertinya tidak asing lagi di telinga mamanya. Dia putra Om Beni. Mamanya mengingat itu dan bercerita kepada Vita.   
            Kini, Vita menikmati perjalanan barunya. Diantar-jemput dengan naik vespa biru, walau terkadang sang pengemudinya sedikit bau.
            “Lain kali mandi, dong, Jo.”
            “Oke, deh, la Vita la Vespa!” seru Jo dari depan dengan bergaya logat italia.
Pagi itu seolah tampak cerah melihat keceriaan mereka berdua menikmati perjalanannya menggunakan Vespa.

***

        

Kamis, 16 Februari 2012

GAGAK LUMAYUNG

Sepi…
pertumpahan darah
di mana `kan kubunuh sepi itu
hingga tiada lagi perang tak berarti, mengosongkan tanah suatu negeri kemudian diisi sepi
tak ingin lagi urat nadi kesombongan
mengurat erat menyetubuhi kekuasaanku

kau dengar jeritan-jeritan nafsu kekuasaan
melilit sakit dalam kesaktian
Dengar Prabu!
detak jantungku layak dentuman meriam
Dengar Prabu!
sepi memulai perang batin ini

Gagak terbang saat lembayung jiwa
ke timur menyandang gelar, menyambut lawan
akhiri perang dari segala perang yang ada

dia kembali jadi manusia mati yang tinggalkan nama
Keyan Santang, Garantang Sentra, Gagak Lumayung
sang Prabu mati tinggalkan belang
di belantara
mitos mati tinggalkan sepi
dunia ini