Catatan Kaki

Selasa, 10 Juli 2012

Pengacara Lasut



Pengacara lasut. Setiap datang ke rumahku hanya bisa membuka acara selamat datang dan mengakhirinya dengan kata semoga. Sengketa yang sudah hampir dua tahun belum juga berakhir dengan kata selamat. Jika tidak, keluarga kami melarat. Sempat tak sempat sesaji pun tersaji di depannya. Komat-kamit di depan kami, mempertunjukkan pusakanya yang menempel ke telinga. “Hallo… ya… bagaimana? Oh… iya… kalo begitu…,” seolah menjadi mantra. Wassalam.
Tuntut saling tuntut, Pak, di sini mah.
Hingga tak ada buntut. Dan kami pun terkentut-kentut.
Tat… tit… tut…. “Hallo… ya… bagaimana? Oh… iya… kalo begitu…,” seolah menjadi mantra. Wassalam. 

Kepergian orang itu seperti malam yang tenang. Sunyi, dingin, dan kelam. Mimpi itu kemungkinan salah dia gantungkan, setinggi langit. Mimpinya kemungkinan salah untuk masuk dalam dunianya. Namun, setiap malam mimpi itu selalu mengetuk pintu hatinya dan mulai bertamu. Dalam terang rembulan malam mereka seolah sedang berdiskusi. Yang didengar oleh waktu Indonesia barat. Ketika para penghuni-penghuni seperti dirinya sedang menunggu gol-gol yang diidam-idamkan dari tim yang mereka bela. Tengah malam di petak-petak kontrakan yang mereka sewa.
       “GOL…!” serempak suara gaduh terdengar dari kamar sebelah. Di balik bilik kamar yang terpisah, dia mengisi cangkir kalengnya lagi. Saat itu pula, dia mengosongkan pikiran. Dan sesaat mimpi itu sudah mulai memanasi suasana diskusi yang tak mungkin selesai. Sampai dia menyuruhnya pulang. Dan kebetulan dingin pun menjemputnya.  Kemudian, dia menutup semua ‘pintu’  dengan selimutnya yang tipis....